Asal-usul Kata Indonesia

Written By admin on Wednesday, December 21, 2011 | 3:49 AM



Di masa penjajahan India-Belanda ini muncul nama Indonesia. Pertama kali digunakan oleh dua orang Inggris, yaitu George Samuel Windsor Earl, seorang pengacara kelahiran London, yang bersama James Richardson Logan, seorang pengacara kelahiran Scotlandia, menulis artikel sebanyak 96 halaman di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4, tahun 1850 dengan judul "The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders." Mereka menamakan penduduk India-Belanda bagian barat yang berasal Proto-Malaya (Melayu tua) dan Deutero-Malaya (Melayu muda), sebagai Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia, asal katanya adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan). Sedangkan penduduk di wilayah India-Belanda bagian timur masuk ke dalam kategori Melanesians (Mela = hitam. Melanesia = kepulauan orang-orang hitam). Oleh karena itu, Earl sendiri kemudian cenderung menggunakan istilah Melayu-nesians, untuk menamakan penduduk India-Belanda bagian barat. Kemudian Logan merubah Indunesia menjadi Indonesia (Indos dan Nesos, keduanya berasal dari bahasa Yunani) dalam tulisan-tulisannya di Journal tersebut.
Adalah Adolf Bastian, seorang dokter dan sekaligus etnolog Jerman, yang mempopulerkan nama Indonesia ketika menerbitkan laporan perjalanan dan penelitiannya di Berlin, yang diterbitkan dalam karya 5 jilid (1864 – 1894) dengan judul “Indonesien, oder die Inseln des malaysischen Archipels” (bahasa Jerman, artinya: “Indonesia, atau Pulau-Pulau dari Kepulauan Malaya”). Jilid I berjudul Maluku, jilid II Timor dan Pulau-Pulau Sekitarnya, jilid III Sumatera dan Daerah Sekitarnya, jilid IV Kalimantan dan Sulawesi, jilid V Jawa dan Penutup.
Sejak dahulu hingga sekarang, para ilmuwan Eropa lebih senang menggunakan istilah/kata bahasa Latin atau Yunani untuk penamaan hal-hal yang sehubungan dengan ilmiah, demikian juga untuk menamakan ras penduduk di wilayah Malaya dan India Belanda bagian barat.
Eduard Douwes Dekker, dalam bukunya “Max Havelaar” menyebut India-Belanda dengan nama Insulinde, variasi bahasa Belanda untuk Kepulauan India. Ketika Indische Partij (Partai India) yang didirikan oleh keponakannya dilarang oleh Pemerintah India Belanda tahun 1913, para anggotanya mendirikan Partai Insulinde.
Baik Indunesian, Indonesien atau Insulinde semua artinya adalah Kepulauan India, untuk menunjukkan identitas pribumi yang hidup di bagian barat wilayah India- Belanda, sedangkan yang hidup di wilayah timur –Flores, Timor, Maluku dan Papua-sebenarnya adalah orang-orang Melanesia (Kepulauan orang-orang hitam).
Yang termasuk pertama menggunakan kata Indonesia pada awal tahun 20-an adalah Perhimpunan Indonesia di Belanda, Sam Ratu Langie dan Partai Komunis Indonesia.
Jadi kata Indonesia yang sampai sekarang digunakan oleh Republik Indonesia artinya tak lain adalah: Kepulauan India.
Selain Indonesia, yang menggunakan nama yang “diciptakan” oleh orang-orang Inggris dan kemudian dipopulerkan oleh orang Jerman, juga Phillipina (Filipina), yang masih tetap menggunakan nama peninggalan penjajahan. Ketika orang-orang Spanyol menguasai wilayah tersebut, sebagai persembahan kepada raja Spanyol, Phillip, jajahan itu diberi nama Philippina.
Banyak negara setelah merdeka mengganti nama yang “diciptakan” atau diberikan oleh penjajahnya, seperti Ceylon menjadi Sri Lanka, Burma menjadi Myanmar, Indo-Cina menjadi Vietnam, Rhodesia menjadi Zimbabwe, Gold Coast menjadi Ghana, South-West Afrika menjadi Namibia, dll.
Jadi seandainya bangsa ini sepakat untuk meninggalkan nama yang diciptakan oleh orang Eropa, maka Indonesia bukanlah negara pertama yang mengganti nama peninggalan masa penjajahan.
Dapat menjadi bahan pertimbangan, untuk kembali menggunakan nama yang telah lebih dari 1000 tahun digunakan oleh nenek moyang kita, yaitu NUSANTARA.


PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama.
Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai
(Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai
kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan
dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah
Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian
terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa
(Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban
jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari

batang
pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang
Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis,
Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata
seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa
yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari
Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas
antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia
Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia
Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia"
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia
Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga
dipakai adalah "Kepulauan
Melayu" (Maleische
Archipel, Malay
Archipelago, l'Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang
digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan
pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan
tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia"
(bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini
kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal
sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950),
yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik
Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur kata
"India". Nama itu tiada
lain adalah Nusantara, suatu
istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil
nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di
Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan
diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa
Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar
Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan
dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa
dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa"
(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi
jahiliyah itu diberi pengertian yang
nasionalistis. Dengan
mengambil kata
Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu
"nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk
dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi
ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari
nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan
wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi
bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana
gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan,
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola
oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih
sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849

seorang ahli etnologi bangsa
Inggris, George Samuel Windsor Earl
(1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk
memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat
dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua
pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani
berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the
inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become
respectively Indunesians or Malayunesians.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab
Malayunesia sangat tepat
untuk ras
Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon
(Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa
Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl
memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson
Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal
tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah
air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan
membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u
digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah
istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak
pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the
ethnographical term Indunesian, but
rejects it in favour of Malayunesian. I
prefer
the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter
synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan
nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari
nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya
peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia"
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini
menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun
1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf
Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des
Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya
ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian
inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan
sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan
Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam
Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil
istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia"
adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri
Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama
Indonesische Pers-bureau.

Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah
dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya
memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan
kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap
pemakaian kata ciptaan
Logan itu.

Pada tahun 1922 atas
inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa
Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi
pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908
dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra,
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang
akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut
"Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan
suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya."


Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo
mendirikan Indonesische Studie
Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925
Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai
nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat;
DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan
Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar
nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama
"Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.


Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan
jatuhnya tanah air kita ke
tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda"
untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat
rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

0 comments:

Post a Comment